Penulis : Rahmat Hidayat
SUMBAWAUPDATE.COM - Konflik agraria antara warga Kelompok Tani Mentingal dan PT. Sumbawa Bangkit Sejahtera (SBS) kembali mencapai titik krusial. Menyikapi potensi bentrokan yang semakin meningkat, Polres Sumbawa mengambil langkah tegas dengan menghentikan sementara seluruh aktivitas perusahaan dan warga di lapangan, terhitung sejak Selasa 11 November 2025 hari ini.
Keputusan ini diambil dalam pertemuan yang digelar di ruang Rupatama Polres Sumbawa, sebagai upaya preventif untuk menjaga kondusifitas wilayah dan mencegah eskalasi konflik yang berlarut-larut terkait batas dan status lahan yang menjadi wilayah operasi PT. SBS.
Langkah cepat kepolisian ini mendapat apresiasi dari pendamping masyarakat, Jasardi Gunawan. "Kami mengapresiasi ketegasan Kapolres dalam menghentikan aktivitas di lapangan. Ini adalah bukti kehadiran negara dalam melindungi warga dan membuka ruang bagi penyelesaian yang adil," ujarnya kepada SumbawaUpdate.com, Selesa. (11/11)
Namun, Jasardi menekankan bahwa penghentian sementara ini hanyalah solusi jangka pendek. Ia mendesak Pemerintah Kabupaten Sumbawa untuk segera mengambil tindakan nyata dan berani dalam menata ulang perizinan dan menyelesaikan akar permasalahan konflik agraria yang telah lama mengakar.
"Pemda tidak bisa lagi bersikap pasif. Harus ada keputusan politik yang jelas untuk menyelesaikan konflik agraria ini secara tuntas. Penataan ulang izin dan batas lahan harus segera dilakukan agar tidak terus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat," tegasnya.
Jasardi menjelaskan bahwa akar konflik ini bermula dari pengingkaran kesepakatan antara perusahaan dan warga pada 2 Februari 2023, di mana perusahaan berjanji akan memberikan lahan seluas 50 hektar kepada Kelompok Tani Mentingal. Namun, lahan tersebut justru masuk ke dalam Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 66 yang diterbitkan pada 27 Juli 2023, sehingga kesepakatan tersebut tidak pernah terealisasi.
Perubahan izin dari perkebunan sisal pada tahun 2013 menjadi perkebunan jagung pada tahun 2024 juga semakin memperkeruh suasana. Pemerintah daerah diduga belum mengetahui adanya perubahan tersebut, sementara Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumbawa belum menerima pemberitahuan resmi terkait batas lahan baru perusahaan.
Senada dengan Jasardi, pengacara publik LBH Keadilan Samawa Rea, Febriyan Anindita, yang sejak awal mengadvokasi kasus ini, menilai bahwa konflik antara warga dan perusahaan selalu berulang pada saat-saat krusial, terutama menjelang masa tanam.
"Konflik ini terus berulang setiap tahun karena akar persoalan agraria tidak pernah diselesaikan secara komprehensif. Pemerintah daerah harus proaktif menata ulang persoalan agraria akut ini, bukan hanya menunggu situasi memanas," tegas Febriyan.
Febriyan juga mengapresiasi keberanian aparat kepolisian dalam menghentikan aktivitas PT. SBS, namun ia menegaskan bahwa tanggung jawab utama kini berada di tangan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa untuk memastikan penataan ulang perizinan, audit HGU, dan pemulihan hak-hak warga.
"Tanpa langkah struktural dari pemerintah daerah, konflik ini hanya akan terus berputar dalam siklus yang sama, warga menanam, perusahaan datang, dan negara terlambat hadir. Ini adalah lingkaran setan yang harus segera diputus," pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Desa Sepayung, yang wilayahnya berbatasan langsung dengan wilayah masyarakat adat, membenarkan bahwa pihaknya telah menerbitkan peraturan desa (Perdes) yang mengatur tentang perlindungan wilayah adat.
